Friday, January 27, 2012

Sebuah Rasa Bernama Bangga


Pukul satu siang, arak-arakan awan hitam tampak menggelayuti langit. Angin berhembus dengan kencang. Titik-titik air mulai turun. Tampaknya akan turun hujan yang cukup deras. Kaki-kaki kecil mulai berlarian ke segala penjuru arah. Kaki-kaki kecil yang juga merasakan akan datangnya hujan. Kaki kecil milik para muridku.
Aku berdiri di depan kelas terakhir yang kuajar hari ini. Tak bisa melepaskan pandangan dari pemilik kaki-kaki kecil yang berlarian itu. Sesekali mengingatkan kepada mereka untuk berhati-hati. Sesekali menjawab salam dari anak-anak yang lewat di depanku. Lama sekali aku berdiri di tempat yang sama, hingga tanpa sadar ingatanku melayang jauh, masa dulu.
Menjadi guru, aku tidak pernah menyangka akan menjalani profesi itu. Begitu jauh angan itu mampir dipikiranku. Aku bahkan tidak tahu akan jadi apa aku nantinya. Cukup menjalani apa yang harus dijalani. Tapi rupanya, menjadi guru telah digariskan dalam hidupku. Sebuah profesi yang dulu juga ditekuni oleh kedua orang tuaku.
Entah mengapa aku dulu tidak begitu menginginkan untuk menjadi seorang guru. Rasanya berat sekali melihat kedua orang tuaku yang berangkat pagi-pagi sekali dan rela pulang sore hari hanya untuk mengajar muridnya yang belum bisa membaca. Sungguh aku tidak menginginkan itu semua. Apalagi bila melihat kenyataan bahwa tidak semua orang menghargai profesi guru. Sudah berat, gaji kecil pula. Miris aku melihatnya.
Selalu aku bertanya kepada mereka, mengapa mereka mau menjadi guru. Dan mereka selalu menjawab, karena menjadi guru itu luar biasa. Hanya itu jawaban mereka, tidak lebih. Lama aku mencerna kata-kata itu hingga akhirnya aku baru tahu apa artinya itu. Cukup lama hingga akhirnya aku pun memutuskan untuk menjadi guru pula.
“Siang, Bu!” sebuah sapaan dari seorang murid menyadarkanku dari lamunan.
“Siang! Kok belum pulang?”
“Belum Bu, nunggu hujan berhenti. Saya nggak bawa payung!”
“Oh gitu. Ya sudah tunggu saja di sini bareng Ibu. Ibu juga tidak bawa mantel hujan. Jadinya ya nunggu hujan reda.”
“Ya sudah, sini duduk. Kita tunggu hujan berhenti sama-sama!” Aku pun duduk di kursi panjang di depan kelas.
“Ya Bu!” Dia menerima ajakanku dan duduk di sebelahku.
Hujan tampaknya semakin deras. Akan butuh waktu lama hingga akhirnya langit berhenti memuntahkan isinya. Mungkin satu atau dua jam.

“Rumah kamu jauh dari sini?” tanyaku pada muridku untuk memecahkan keheningan yang sedari tadi menemani kami berdua.
“Nggak juga kok Bu. Tapi kalau saya paksakan pulang sekarang nanti basah kuyup. Kan disini sekalian menemani ibu,” jawab Annisa, nama muridku.
Aku tersenyum mendengar jawabannya.
“Bu, boleh saya bertanya?” tanya Annisa dengan hati-hati.
“Tentu saja.”
“Kenapa Ibu dulu mau menjadi guru? Jadi guru kan nggak enak, Bu. Sudah gajinya kecil, muridnya susah diatur pula!”
Aku kaget mendengar pertanyaan itu. Aku tidak menyangka ada anak usia 10 tahun bisa menanyakan hal tersebut. Ku sembunyikan kekagetanku dengan mencoba bertanya pada Annisa.
“Mengapa kamu bisa berkata seperti itu?”
“Soalnya tetangga saya ada yang jadi guru sih, Bu. Tetangga saya itu sering cerita sama Mama. Kalau jadi guru itu nggak enak. Gajinya pas-pasan, muridnya bandel-bandel, semuanya deh. Tapi anehnya Mama kan juga guru kenapa Mama nggak pernah ngeluh ya?” curhat Annisa polos.
Kembali tersenyum aku mendengar perkataan Annisa. Senyum getir. Karena dulu aku pernah berpikiran sama dengan apa yang dipikirkan Annisa saat ini.
“Tahu nggak Nis? Dulu Ibu juga pernah menanyakan hal yang sama dengan apa yang kamu tanyakan sekarang ini.”
“Pada siapa Bu?” penasaran Annisa bertanya kepadaku.
“Kepada orang tua Ibu,” jawabku sambil tersenyum.
“Dulu orangtua Ibu hanya tersenyum dan berkata bahwa menjadi guru itu luar biasa,” kataku meneruskan, “dulu Ibu tidak paham apa maksudnya, tapi sekarang Ibu rasa Ibu tahu maksudnya.”
“Maksudnya?”
“Pada dasarnya, apapun pekerjaan kita ketika kita menjalaninya dengan hati yang ikhlas maka kita pasti akan merasakan kenikmatan dan kepuasan yang tiada bandingnya. Dan Ibu merasakan hal yang sama dengan apa yang Ibu kerjakan saat ini. Menjadi guru adalah anugerah yang terindah untuk Ibu, hanya dengan melihat kalian belajar, membayangkan bahwa nantinya kalian akan menjadi orang yang berguna sudah membuat Ibu senang.”
“Benarkah Bu? Tapi mengapa ada juga guru yang masih mengeluh? Contohnya tetangga saya itu.”
Anissa masih mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan seakan-akan ia sedang memberikan tes padaku. Rupanya ia belum puas dengan jawabanku.
“Memang ada kalanya seseorang tidak puas dengan apa yang sudah dimilikinya. Apa yang sudah diberikan tidak sebanding dengan apa yang didapatkan. Mungkin tetangga Annisa itu hanya sedang bertukar pikiran dengan Mama Annisa. Mungkin tetangga Annisa mengapa murid-muridnya masih saja bandel-bandel padahal tetangga Annisa sudah berusaha menjadi guru yang baik.”
“Mungkin juga sih Bu. Habisnya meskipun sering ngeluh tapi tetangga saya itu kalau pergi ngajar selalu pagi dan nggak pernah terlambat sih.”
“Tuh kan. Di dunia ini memang banyak orang yang mengeluh dengan apa yang ia kerjakan. Itu semata-mata karena mereka tidak tahu betapa luar biasanya apa yang mereka kerjakan. Betapa berharganya apa yang telah mereka lakukan.”
Annisa tersenyum menatapku.
“Cita-cita Annisa apa?” tanyaku memecah kebisuan diantara kami.
“Annisa belum tahu, Bu. Mungkin menjadi guru seperti Bu Guru dan Mama atau menjadi dokter seperti Papa,” jawabnya polos.
“Apapun cita-cita Annisa nanti, pastikan itu adalah pilihan Annisa yang Annisa pilih sendiri.”
“Memangnya  kenapa Bu?”
“Supaya nantinya Annisa tidak menyesal dengan apa yang sudah Annisa dapatkan kelak. Dan tentunya Annisa tidak mengeluh dengan apa yang Annisa kerjakan karena Annisa tahu betapa luar biasanya apa yang Annisa lakukan. Jadi dari sekarang pikirkan dengan baik apa cita-cita Annisa,” kataku panjang lebar.
“Apa Ibu senang jadi guru?”
Sekali lagi aku tersenyum padanya. Ya Tuhan, anak ini sangat kritis. Berilah ia rahmatMu sehingga ia dapat berguna untuk orang lain.
“Tentu saja Ibu senang menjadi guru. Tapi lebih tepatnya Ibu bangga menjadi guru.”
“Kok bangga?”
“Karena dari tangan guru lah orang-orang hebat lahir ke dunia. Dari kerja keras guru lah banyak dari kita berhasil dalam hidupnya. Termasuk Ibu. Ibu sekarang disini bersama kamu pun tidak lepas dari peran serta guru Ibu.”
“Saya juga bangga jadi murid Ibu. Habisnya Ibu baik hati sih.”
“Wah sudah reda nih. Saya pulang dulu ya Bu,” kata Annisa beranjak dari tempat duduknya.
“Lho mau pulang sekarang? Masih gerimis lho.”
“Nggak apa-apa Bu.”
“Mau Ibu antar pulang?”
“Nggak usah Bu. Rumah saya dekat kok. Permisi Bu.”
“Hati-hati ya,” pesanku padanya.
Annisa berlari menembus gerimis. Aku pun mulai berbenah. Aku ingin secepatnya pulang ke rumah. Memeluk seseorang yang telah menungguku di rumah. Guruku yang pertama. Ibuku.
Entah kenapa ada rasa rindu yang membuncah. Rasa haru yang begitu dalam. Rasa bangga yang begitu indah. Rasa terima kasih yang begitu ingin aku ucapkan kepadanya. Terima kasih karena telah mengajariku banyak hal. Terima kasih karena telah mendidikku.
Tuhan, terima kasih untuk semuanya. Terima kasih karena aku telah menjadi guru. Tuhan, untuk semua guru, sampaikan lah rasa terima kasihku ini untuk mereka. Jagalah mereka dikala penjagaanku tak sampai kepadanya. Sayangi mereka dikala rasa sayangku tak mampu merengkuhnya dalam dekapan yang nyata. Muliakanlah mereka dikala penghargaanku tak terangkum dalam kata yang sahaja. Karena Engkau punya segala yang aku tak punya.

No comments:

Post a Comment