Monday, September 19, 2011

PENDIDIKAN GURU SEBELUM KEMERDEKAAN


Sebelum nenek moyang kita yang berasal dari daerah Yunan menetap di Indonesia, di sini sudah ada kebudayaan penduduk asli, yang disebut kebudayaan palaeolitis, seperti yang kita jumpai pada orang-orang Kubu, Wedda dan Negrito. Tentang hal ini tidak banyak yang diketahui orang. Mungkin kebudayaan Indonesia asli merupakan campuran antara kebudayaan Melayu dengan kebudayaan papaleolitis.
Kebudayaan Indonesia asli (kebudayaan nenek moyang kita + 1500 sebelum Masehi) disebut kebudayaan neolitis. Sisa-sisanya masih kita jumpai di pedalaman Kalimantan dan Sulawesi. Kebudayaan ini sebenarnya termasuk kebudayaan maritim.[1]
Pada waktu itu pendidikan dalam lingkunagn keluarga sudah mencukupi kebutuhan, karena masyarakat masih serba bersahaja. Yang menjadi pendidik terutama sekali ayah dan ibu. Ayah mengajarkan pengetahuan dan kepandaian yang ada padanya kepada anak laki-laki dan ibu berbuat demikian pula terhadap anak perempuan.
Diantara manusia pada waktu itu ada dua golongan yang mempunyai kecakapan istimewa, yakni pandai besi dan dukun. Mereka itu bergelar Empu. Pandai besi adalah seorang ahli dalam pengetahuan duniawi, sedangkan dukun adalah ahli dalam pengetahuan maknawiah. Para Empu itu dapat pula disebut guru, karena merekalah yang menjadi guru. Umumnya yang berguru padanya sangat terbatas, terutama anak-anaknya sendiri.[2]
Pada masa Hindu Budha, yang mula-mula jadi guru ialah guru ialah kaum Brahmana. Mereka menggantikan para Empu di Indonesia. Brahmana menjadi manusia istimewa. Para Empu segera belajar kepada Brahmana. Baru setelah itu Empu-empu tersebut menjadi guru dan menggantikan kedudukan Brahmana.
Ada dua macam guru, yaitu guru keraton dan guru pertapa. Murid-murid guru keraton bukan anaknya atau rakyat jelata, tetapi anak raja atau bangsawan. Guru pertapa lebih berjiwa kerakyatan. Mereka ingin mendekati rakyat dan tidak mendekati keraton, bahkan menjauhinya atau bersembunyi di hutan-hutan, supaya tidak berselisih dengan kaum raja. Cita-citanya ialah mengangkat derajat rakyat jelata.[3]
Karena adanya perdagangan taraf internasioanal, maka datanglah agama Islam ke Indonesia yang merupakan tenaga baru yang penting sekali artinya bagi perkembangan pendidikan dan pengajaran. Pada fase ini, ada dua lembaga penting yang memegang peranan penting yakni langgar dan pesantren. Karena bersikap demokrasi, maka pengajarannya merupakan pengajaran rakyat. Tujuannya memberikan pengetahuan tentang agama bukan untuk memberikan pengetahuan umum.
Yang menjadi guru adalah seseorang yang mempunyai pengetahuan yang agak mendalam. Guru itu tetap dipandang sebagai seorang yang sakti. Murid-murid tidak boleh mengecam guru. Mengecam guru dianggap berdosa.
Pengajaran di langgar merupakan pengajaran permulaan. Pengajaran yang lebih lanjut dan lebih mendalam diberikan di pesantren. Guru lazim disebut ajengan atau kiai. Guru hidup bersama-sama dengan santri-santrinya.[4]
Pada waktu Portugis datang ke Indonesia, mereka dibarengi oleh missionaries, yang diberi tugas untuk menyebarkan agama Nasrani di kalangan penduduk Indonesia. Seorang diantaranya adalah Franciscus Xaverius, yang dianggap sebagai peletak batu pertama dari agama Katolik di Indonesia. Ia berpendapat, bahwa untuk memperluas penyebaran agama Nasrani itu perlu sekali didirikan sekolah-sekolah.
Maka pada tahun 1536 didirikan orang di Ternate sebuah seminari, yang merupakan sekolah agama bagi anak-anak orang terkemuka. Selain pelajaran agama diberikan juga membaca, menulis dan berhitung. Pendidikan yang lebih tinggi diberikan di Goa, pusat kekuasaan Portugis di Asia. Pemuda-pemuda Indonesia yang cakap dikirimkan ke sana untuk mendapatkan pendidikan. kelak mereka dijadikan pembantu-pembantu paderi.
Dengan berakhirnya kekuasaan Portugis, maka timbullah kekuasaan baru yaitu kekuasaan Belanda. Bangsa Belanda merasa perlu menggantikan agama Katolik yang telah disebarkan orang Portugis itu dengan agamanya yaitu Protestan. Untuk keperluan inilah, maka didirikan sekolah-sekolah, terutama di daerah-daerah yang dahulu telah dinasranikan oleh bangsa Portugis dan Spanyol. Jelas bahwa tujuan sekolah-sekolah itu semua adalah untuk melaksanakan pemeliharaan dan penyebaran agama Protestan. Sebagai guru diangkatnya pendeta-pendeta.
Sekolah pertama didirikan di Ambon pada tahun 1607. Pelajaran-pelajaran yang diberikan berupa membaca, menulis dan sembahyang. Sebagai guru diangkatlah seorang Belanda. Kelak dikirimkan beberapa orang anak kepala-kepala di Ambon ke negeri Belanda untuk mendapat pendidikan guru. Sekembalinya ke tanah air, mereka menjadi guru.[5]
Perhatian pemerintah Belanda dalam hal pendidikan ini sangat kurang. Penyebaran pengajaran bagi masyarakat umum selalu ditunda-tunda. Tujuan sekolah bukan untuk mendidik rakyat, bukan pula untuk mempertinggi taraf kehidupan rakyat melainkan untuk kepentingan kaum penjajah juga.
Pada tahap selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda menghadapi masalah, salah satunya adalah kekurangan tenaga guru. Maka sebagai usaha pertama untuk mengatasi masalah kekurangan guru adalah dibukanya Kweekschool (Sekolah Guru) pertama di Surakarta pada bulan April 1852. Di sekolah ini murid-muridnya pun terbatas pada anak-anak golongan bangsawan saja. Kelak menyusul sekolah-sekolah guru di kota-kota lain.
Adanya politik etis ternyata juga berdampak pada bidang pendidikan. Muncul beberapa jenis sekolah rendah. Maka pendidikan gurunya pun bermacam-macam pula, yaitu untuk sekolah desa, sekolah Vervolg (sekolah kelas II) dan untuk HIS.
Sementara itu pada masa pemerintahan Jepang, guru-guru lebih difokuskan untuk ditanamkan idelogi baru yaitu Hakko Ichiu. Usaha penanaman ini melalui latihan guru-guru. Kelak mereka diharuskan menjadi penyebar ideologi tersebut.


[1] I. Djumhur,1976, Sejarah Pendidikan, Jakarta : CV. ILMU, hal. 103
[2] Ibid, hal 104
[3] Ibid, hal. 109
[4] Ibid, hal. 112
[5] Ibid, hal. 114-116

No comments:

Post a Comment