Thursday, September 22, 2011

Kehidupan rakyat Indonesia pada awal Kedatangan Bangsa Jepang

Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah oleh Jepang. Sumatera ditempatkan di bawah Angkatan Darat ke-25, sedangkan Jawa dan Madura berada di bawah Angkatan Darat ke-16; kedua wilayah ini berada di bawah Angkatan Darat Wilayah ke-7 dengan markas besarnya di Singapura. Kalimantan dan Indonesia Timur dikuasai oleh angkatan laut.[1]
Tujuan utama Jepang di Indonesia adalah menyusun serta mengarahkan kembali perekonomian Indonesia dalam rangka menopang upaya perang Jepang dan rencana-rencananya bagi dominasi ekonomi jangka panjang terhadap Asia Timur dan Tenggara. Kebijakan Jepang terhadap rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas yaitu menghapus pengaruh-pengaruh Barat dikalangan mereka dan memobilisasi rakyat Indonesia demi kemenangan Jepang. Jepang bermaksud menguasai Indonesia untuk kepentingan mereka sendiri.
Untuk memusnahkan pengaruh Barat, Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda serta Bahasa Inggris dan memajukan pemakaian bahasa Jepang. Kalender Jepang diperkenalkan, patung-patung Eropa diruntuhkan, dan jalan-jalan diberi nama baru. Suatu kampanye propaganda yang intensif dimulai untuk meyakinkan masyarakat bahwa rakyat Indonesia dan bangsa Jepang adalah saudara seperjuangan dalam perang yang luhur untuk membentuk suatu tatanan baru di Asia. Sejak awal pendudukannya, Jepang selalu berusaha menarik simpati bangsa Indonesia agar bersedia membantu Jepang dalam usahanya memenagkan perang.[2]Akan tetapi, upaya propaganda ini sering mengalami kegagalan yang disebabkan kenyataan yang ada selama masa pendudukan Jepang yaitu kekacauan ekonomi, teror polisi militer (kenpeitai), kerja paksa, penyerahan wajib beras, kesombongan dan kekejaman orang-orang Jepang pada umumnya, pemukulan, pemerkosaan serta adanya kewajiban memberi hormat kepada setiap orang Jepang.[3] Kondisi rakyat Indonesia yang sedang mengalami penurunan drastis yang disebabkan oleh depresi ekonomi yang terjadi ketika berada di bawah pemerintahan kolonial bertambah buruk setelah masuknya Jepang ke Indonesia.[4]


[1] M.C. Ricklefs, “A History of Modern Indonesia”, a.b. Dharmono Hardjowidjono, (1981), Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal 297
[2] Fujiwara Iwachi, F. Kikan: “Japanese Army Intelligence Operation in Southeast Asia during World War II”, a.b. Gyani Buditjahja, (1988), F. Kikan: Operasi Intelijen Tentara Jepang di Asia Tenggara selama Perang Dunia II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. 68
[3]M.C. Ricklefs, “A History of Modern Indonesia”, a.b. Dharmono Hardjowidjono, (1981), Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal 298-299
[4] Dadang Juliantoro, (1997), Derita Paksa Perempuan, Kisah Jugun Ianfu pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. 49

Tuesday, September 20, 2011

PENDIDIKAN GURU MASA KEMERDEKAAN


Setelah Indonesia mengalami kemerdekaan, mucullah masalah baru yang harus diatasi oleh pemerintah, salah satunya adalah masalah kekurangan tenaga pengajar. Pada tahun 1950, kekurangan itu ada 20.186 orang. Bahkan kalau semua calon murid SR yang ingin masuk sekolah ditampung seluruhnya, maka kekurangan itu meliputi jumlah + 168.000 orang guru.
Maka untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah menempuh dua jalan. Yang pertama adalah memperbanyak jumlah SGB (SG 4 tahun). Yang kedua adalah memperkerjakan tenaga guru yang mempunyai wewenang untuk mengajar (calon guru). Pada umumnya mereka baru lulus SD 6 tahun. Usaha ini bersifat sementara karena pemerintah menghendaki agar pelaksanaan pendidikan pada SR itu diserahkan kepada tenaga pengajar yang berijazah SGA (SG 6 tahun).
A.       Sekolah Guru B (SGB atau SG 4 tahun)
Murid yang diterima masuk kelas I SGB ialah tamatan SR, yang lulus dalam ujian masuk ke SLP. Lama pelajaran 4 tahun. Pada dasarnya pelajaran 4 tahun itu sama dengan 3 tahun pelajaran umum (SMP), ditambah 1 tahun pelajaran kejuruan (guru). Disamping kelas-kelas biasa, diadakan juga kelas IV SGB istimewa atau Kursus Guru B (KGB). Yang dapat diterima ialah mereka yang berijazah SMP. Sesudah dididik 1 tahun mereka diberi ijazah SGB dan dipekerjakan sebagai guru SR. Dari kelas III SGB (dengan seleksi), murid-murid dapat melanjutkan pelajaran ke SGA.[1]
B.        Sekolah Guru A (SGB atau SG 6 tahun)
Syarat masuk SGA adalah pemegang ijazah SMP Negeri, tamatan SGB Negeri dan SGB kelas III yang naik ke kelas IV melalui proses seleksi. Lama pelajaran 3 tahun. Karena permintaan untuk masuk SR bertambah banyak, pemerintah menganggap perlu mengadakan pendidikan guru yang lebih singkat lagi.
C.        Sekolah Guru C (SGB atau SG 2 tahun)
Sekolah ini memberikan pendidikan selama 2 tahun pada anak-anak tamatan SR dan dapat disamakan dengan CVO atau OVVO pada zaman Belanda. Usaha ini hanya berjalan + 1,5 tahun karena tidak mendapat dukungan dari masyarakat. Beberapa dari sekolah tersebut diubah menjadi SGB.
Selain mendirikan sekolah guru, pemerintah juga membuka kursus-kursus guru. Ada dua tujuan yang hendak dicapai. Yang pertama adalah untuk memperbaiki mutu guru-guru SD yang belum memiliki ijazah SGB. Yang kedua adalah untuk memperluas pengetahuan guru-guru SR yang telah memiliki ijazah SGB dan yang sederajat, sehingga mereka dapat mencapai ijazah SGA.[2]


[1] I. Djumhur,1976, Sejarah Pendidikan, Jakarta : CV. ILMU, hal. 121
[2] Ibid, hal. 212

Monday, September 19, 2011

PENDIDIKAN GURU SEBELUM KEMERDEKAAN


Sebelum nenek moyang kita yang berasal dari daerah Yunan menetap di Indonesia, di sini sudah ada kebudayaan penduduk asli, yang disebut kebudayaan palaeolitis, seperti yang kita jumpai pada orang-orang Kubu, Wedda dan Negrito. Tentang hal ini tidak banyak yang diketahui orang. Mungkin kebudayaan Indonesia asli merupakan campuran antara kebudayaan Melayu dengan kebudayaan papaleolitis.
Kebudayaan Indonesia asli (kebudayaan nenek moyang kita + 1500 sebelum Masehi) disebut kebudayaan neolitis. Sisa-sisanya masih kita jumpai di pedalaman Kalimantan dan Sulawesi. Kebudayaan ini sebenarnya termasuk kebudayaan maritim.[1]
Pada waktu itu pendidikan dalam lingkunagn keluarga sudah mencukupi kebutuhan, karena masyarakat masih serba bersahaja. Yang menjadi pendidik terutama sekali ayah dan ibu. Ayah mengajarkan pengetahuan dan kepandaian yang ada padanya kepada anak laki-laki dan ibu berbuat demikian pula terhadap anak perempuan.
Diantara manusia pada waktu itu ada dua golongan yang mempunyai kecakapan istimewa, yakni pandai besi dan dukun. Mereka itu bergelar Empu. Pandai besi adalah seorang ahli dalam pengetahuan duniawi, sedangkan dukun adalah ahli dalam pengetahuan maknawiah. Para Empu itu dapat pula disebut guru, karena merekalah yang menjadi guru. Umumnya yang berguru padanya sangat terbatas, terutama anak-anaknya sendiri.[2]
Pada masa Hindu Budha, yang mula-mula jadi guru ialah guru ialah kaum Brahmana. Mereka menggantikan para Empu di Indonesia. Brahmana menjadi manusia istimewa. Para Empu segera belajar kepada Brahmana. Baru setelah itu Empu-empu tersebut menjadi guru dan menggantikan kedudukan Brahmana.
Ada dua macam guru, yaitu guru keraton dan guru pertapa. Murid-murid guru keraton bukan anaknya atau rakyat jelata, tetapi anak raja atau bangsawan. Guru pertapa lebih berjiwa kerakyatan. Mereka ingin mendekati rakyat dan tidak mendekati keraton, bahkan menjauhinya atau bersembunyi di hutan-hutan, supaya tidak berselisih dengan kaum raja. Cita-citanya ialah mengangkat derajat rakyat jelata.[3]
Karena adanya perdagangan taraf internasioanal, maka datanglah agama Islam ke Indonesia yang merupakan tenaga baru yang penting sekali artinya bagi perkembangan pendidikan dan pengajaran. Pada fase ini, ada dua lembaga penting yang memegang peranan penting yakni langgar dan pesantren. Karena bersikap demokrasi, maka pengajarannya merupakan pengajaran rakyat. Tujuannya memberikan pengetahuan tentang agama bukan untuk memberikan pengetahuan umum.

Saturday, September 17, 2011

SOSOK GURU

Kata "guru" memang sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat. Bila orang menyebut kata guru, yang terbayang adalah guru sekolah. Guru yang mengajar dan memberi bekal pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk hidup berharkat dan bermartabat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kepada anak didiknya. Guru juga yang mengajar kita dari yang tidak tahu menjadi tahu, sehingga guru diibaratkan orang tua kedua kita di sekolah.
Guru yang baik akan selalu berupaya berbuat yang terbaik untuk siswanya, berbuat yang terbaik untuk orang disekitarnya. Guru yang baik akan selalu mengembangkan dirinya dan mensejajarkan diri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk melakukan hal tersebut, guru harus aktif tidak saja mengajar, tetapi aktif juga di setiap kegiatan-kegiatan yang berbau pendidikan.[1]
Semua orang yakin bahwa guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Keyakinan ini muncul karena manusia adalah makhluk lemah, yang dalam perkembangnnya senantiasa membutuhkan orang lain, sejak lahir sampai meninggal. Bila hal ini diibaratkan pada peserta didik, maka ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah, pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal.[2]
Keaktifan seorang guru akan memperlihatkan mobilitasnya di sekolah dan di masyarakat. Guru yang aktif tidak akan berfikir tugasnya hanya mengajar, melainkan ia akan selalu berbuat yang terbaik untuk siswanya, masyarakat dan dirinya sendiri sebagai bekal kehidupannya di masa depan. Ia tidak akan mengabaikan tugas pokok dan akan melaksanakan tugas yang diembankan kepadanya.
Menurut Peters (1989) ada tiga tugas dan tanggung jawab, yakni guru sebagai pengajar, guru sebagai pembimbing dan guru sebagai administrator kelas. Filsafat sebagai pengajar dituntut memiliki kemampuan kepada tugas dalam merencanakan dan melaksanakan pelajaran. Dalam kaitan ini guru dituntut kemampuan seperangkat pengetahuan dan keterampilan teknis mengajar, di samping menguasai ilmu atau bahan yang akan diajarkan. Guru sebagai pembimbing memberikan penekanan kepada tugasnya memberikan bantuan dan solusi atas permasalahan yang dihadapi oleh anak didik, sehingga tugas ini lebih populer mendidik. Sedangkan guru sebagai administrator kelas pada hakikatnya merupakan jalinan antara ketatalaksanaan bidang pelajaran.
Tugas dan tanggung jawab guru diatas merupakan tugas pokok guru yang harus dilakukan di sekolah. Di samping itu ada tugas lain yang dituntut kepada guru. Dengan tugas tersebut diharapkan guru dapat aktif dan kreatif. Semakain aktif dan kreatif, menujukkan mobilitasnya guru tinggi. Guru yang mempunyai  mobilitas tinggi ini umumnya akan terbisa menghadapi permasalahan – permasalahan dan mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas serta pola pikir yang baik.[3]
Dalam situasi apa pun, jabatan guru tetap dinilai oleh warga masyarakat sebagai pemberi inspirasi, penggerak dan pelatih dalam penguasaan kecakapan tertentu bagi sesama, khususnya bagi para siswa agar mereka siap membangun hidup beserta lingkungan sosialnya. Dapat dipastikan bahwa guru yang semakin bermutu semakin besar sumbangannya bagi perkembangan diri siswanya dan perkembangan masyarakatnya.[4]


[1] Isjoni, 2006, Gurukah Yang dipersalahkan?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 15
[2] E. Mulyasa, 2006, Menjadi Guru Profesional, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, hal. 35
[3] Isjoni, 2006, Gurukah Yang Dipersalahkan, Jakarta : Pustaka Pelajar, hal. 16-17
[4] Saman, 1994, Profesionalisme Keguruan, Yogyakarta : Kanisius, hal. 14