Saturday, July 9, 2011

KH AHMAD DAHLAN DAN PERANANNYA UNTUK KEMERDEKAAN INDONESIA


Indonesia adalah sebuah negara yang lahir setelah sekian lama terjajah. Belanda sebagai sebuah negara telah menanamkan kekuasaannya di Indonesia cukup lama. Cukup lama hingga membuat Belanda menjadi negara yang makmur dan rakyat Indonesia menderita. Belanda melakukan penindasan dan penjajahan terhadap bangsa Indonesia yang makin lama makin kuat kekuasaannya. Perbuatan Belanda sangat bertentangan dengan nilai agama Islam dan nilai prikemanusiaan serta keadilan.  Setelah sekian lama menghadapi situasi yang merugikan masyarakat Indonesia, rakyat pun bangkit. Perlawanan-perlawanan terhadap kekuasaan Belanda dilancarkan, baik melalui jalur perlawanan bersenjata maupun tidak.
Zaman terakhir kekuasaan Belanda ditandai dengan pertumbuhan cepat kesadaran diri secara politik yang merupakan hasil dari perubahan sosial dan ekonomi, pendidikan Barat, dan gagasan pembaharuan Islam. Pada masa ini mulai masuk dan diterimanya gagasan-gagasan baru. Zaman ini kemudian disebut sebagai masa kebangkitan nasional.[1]
Upaya penguasaan seluruh wilayah Indonesia yang dilakukan Belanda, oleh ulama dimanfaatkan untuk menumbuhkan kesadaran pada diri tentang adanya musuh bersama. Gerakan ulama membangkitkan kesadaran akan rasa cinta tanah air, bangsa dan agama. Kondisi penjajahan dan penindasan yang dialami oleh rakyat Indonesia telah melahirkan pemahaman pada diri bahwa Islam identik dengan kebangsaan atau nasionalisme.[2]
Realitas sejarah tentang telah adanya eksistensi kekuasaan politik Islam sejak abad ke-9 M hingga abad ke-20 M dan tumbuh meluas di seluruh Nusantara Indonesia dijadikan modal yang sangat berharga oleh Ulama dan Santri, untuk membangkitkan kembali kesadaran politik umat Islam Indonesia. Hal ini dibangkitkan melalui pembentukan organisasi modern sebagai wahana memobilitas dan mendinamikan semangat juang umat Islam Indonesia.[3]
Memasuki masa politik etis, penjajahan ternyata belum selesai. Eksploitasi terhadap segenap potensi sumber daya pribumi dan lingkungan hidupnya tetap dilakukan oleh pemerintah Belanda. Penjajahan dengan model baru pun dimulai. Sebuah senjata utama yang dilakukan oleh pihak pemerintah Belanda untuk melumpuhkan kekuatan ulama dalam hal sumber dana dan logistik. Hal ini dikarenakan sawah ladang maupun irigasi menjadi sangat bergantuk pada pemerintah Belanda.
Dibukanya perkebunan dan pertambangan di wilayah baru di luar pulau Jawa, mengakibatkan tenaga kerja perlu didatangkan. Daerah pulau Jawa yang merupakan pulau dengan jumlah penduduk yang cukup padat harus melakukan pemindahan penduduk ke daerah perkebunan dan pertambangan yang belum ada penghuninya. Dengan adanya pemindahan ini, terkait adanya upaya memperlemah kedudukan ulama.[4]
The above discussion of the Ethical Policy exemplifies briefly, and very generally, some of the results of the Dutch effort to westernize Indonesian society, and, as such, they represented at least the initial success toward the realization of the “Grand Design” envisioned by Snouck Hurgronje. So far, the Ethical Policy did seem to have been the true manifestation of what Snouck Hurgronje had implied in his Islamic policy.[5]
Biografi KH Ahmad Dahlan
KH. Ahmad Dahlan merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara keluarga KH. Abu Bakar yang merupakan penghulu Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta. Nama kecil dari KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis.
KH. Ahmad Dahlan pertama naik haji pada tahun 1890 M. Di Makkah beliau belajar agama Islam dengan Syekh Achmad Chatib. Pada tahun 1903 M, untuk kedua kalinya beliau naik haji dan bermukim selama dua tahun.
KH. Ahmad Dahlan sebenarnya berada di lingkungan Kesultanan Yogyakarta yang pada saat itu pemerintahan kolonial Belanda menghendaki bahwa Sri Sultan beserta keturunannya tidak diperkenankan untuk naik haji. Hal ini dikarenakan pihak Belanda takut adanya modernisasi Islam di Timur Tengah akan mempengaruhi pemikiran mereka. Akan tetapi, KH. Ahmad Dahlan dapat lolos dikarenakan ia merupakan putra dari KH. Abu Bakar. KH. Ahmad Dahlan dapat pergi ke Makkah sebanyak dua kali juga dikarenakan ia adalah seorang pengusaha batik.[6]

Pemikiran KH. Ahmad Dahlan
Ketika pergi ke Makkah tersebut, KH. Ahmad Dahlan sangat tertarik dengan ide Jamaludin Al- Afghany tentang gerakan anti imperialisme Barat. Serta reformasi metode dakwah yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh dan Rashid Ridha. Meskipun dari Mesir, akan tetapi pengaruhnya telah sampai di Makkah. Ide pembaharuan ini oleh KH. Ahmad Dahlan dibawa ke Yogyakarta. Setelah beliau sampai di Yogyakarta, KH. Ahmad Dahlan sadar bahwa diperlukan adanya adaptasi metode dakwah dengan lingkungan setempat.[7]
Sejarah timbulnya semangat pembaruan (reformasi) dan modernisasi dalam Islam dimulai sejak abad 13-14 dengan munculnya gerakan Ichsanus Shafa yang dirintis oleh Ibnu Taimiyah (1263-1338). Ulama besar dan ahli hukum kelahiran Haran ini dikenal dalam sejarah reformasi dan modrernisasi dalam dunia Islam sebagai pelopor dan perintis. Pembaharuan ini dilanjutkan oleh Ibnu QoyimAl Juaziyah (1292-1350). Jamaludin Al Afghani (1838-1897). Muhammad Abduh (1849-1905), Muhammad Rasyid Ridlo (1856-1935) di Mesir dan Muhammad Abdul Abdul Wahab (1703-1778 di Hiyas (Arab).[8]

KH. Ahmad Dahlan menyadari bahwa geraknya terbentur dengan tradisi Kesultanan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat Jawa  sebagai objek dakwahnya miskin sekali. Keberagaman yang diikuti dengan kemiskinan yang mereka derita menyebabkan masyarakat pada saat itu lebih rentan terhadap ajaran takhayul, bid’ah, khurafat dan kemusyrikan. Kedua hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh KH. Ahamad Dahlan dalam menyampaikan ide pembaharuan untuk kembali pada Al Quran dan As Sunnah. Meskipun demikian hal ini tidaklah menjadikan sosok KH. Ahmad Dahlan menjadi putus asa. Beliau mencoba mencari jalan metode dakwah yang terbaik yang dapat digunakan dalam penyampaian ide pembaharuan untuk kembali kepada Al Quran dan As Sunnah. Untuk itu, KH. Ahmad Dahlan mula-mula mengenalkan aplikasi ajaran Fikih, seperti masalah thaharah atau kebersihan dan masalah arah kiblat yang benar.
Kiai Achmad Dahlan is the only native pioneer of Liberal Islam in Indonesia. Unfortunately, none of writings was written by himself. However, it does not suggest that he did not have any genial ideas worth studying and considering. Muhammadiyah movement, which he founded and so far has developed into the biggest modernist Islamic organization in Asia- probably in the world- certainly has internal power reflecting the founder.[9]

Gerak Perjuangan KH. Ahmad Dahlan
Memasuki tahun 1912, Surakarta dan Yogyakarta menjadi target pemerintah kolonial Belanda untuk dipatahkan kekuatan Islamnya. Sebagai kekuasaan politik, Kesunanan Surakarta serta Kesultanan Yogyakarta sudah tidak berdaya lagi. Sunan dan Sultan pun hanya sebuah gelar saja.
Akibatnya, rakyat pun menjadi tertindas dan hidup dalam penderitaan yang luar biasa. Rakyat kecil yang kelaparan dan tidak mempunyai kekuatan serta tempat untuk bernaung karena kekuasaan politik sudah menjadi milik Belanda. Bangsawan kalangan istana tidak lagi memedulikan rakyatnya.[10]
Kondisi yang demikian tidak dapat dibiarkan. Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah. Muhammadiyah juga turut membangkitkan kesadaran wanita. Didasari oleh Rosulullah yang perjuangannya didiking oleh Ummul Mukminin, maka KH. Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi kewanitaan, Sopotrisno. Atas usul Haji Mochtar, Sopotrisno pun diubah menjadi Aisyiah. Didirikannya organisasi wanita juga disebabkan KH. Ahmad Dahlan yang selalu memperhatikan wanita. Ia berpendapat bahwa dunia tidak akan maju secara sempurna bila wanita hanya tinggal di belakang, di dapur saja.[11]
Setahun kemudian, Muhammadiyah membentuk organisasi untuk pembinaan para gadis. Organisasi ini awalnya bernama Siswa Pradja Wanita namun kemudian diganti menjadi Nasyiatul Aisyiah. Pergantian nama anak organisasi ini berkaiatan dengan perkembangan Muhammadiyah yang sudah sampai luar Jawa.[12]
KH. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah organisasi untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.

KH. Ahmad Dahlan wafat
Meskipun sedang sakit, KH. Ahmad Dahlan pada bulan Januari 1923, bersama para sahabat dan pimpinan Muhammadiyah mendirikan Rumah Sakit Muhammadiyah. Rumah sakit ini diresmikan pada tanggal 13 Januari 1923. Sebuah rumah sakit pertama di Indonesia yang pengelolaannya mandiri oleh kaum pribumi.
Melihat kondisi kesehatan KH. Ahmad Dahlan, para sahabat telah berusaha untuk memulihkan kesehatan beliau. Akhir tahun 1922 sampai awal tahun 1923, beliau diminta beristirahat di daerah peristirahatan Tretes Malang. Akan tetapi di daerah peristirahatan tersebut, KH. Ahmad Dahlan bukan berobat yang menjadi perhatian beliau tetapi justru  aktivitas dakwah. Bagi beliau dan Muhammadiyah, hidup adalah ibadah dan dakwah, oleh karena itu berdirilah sebuah masjid di tempat beliau beristirahat.
Dalam rapat tahunan yang merupakan rapat terakhir yang dapat dihadiri oleh KH. Ahmad Dahlan, beliau berpidato selama 30 menit. Dalam pidatonya beliau mengatakan bahwa Al Quran serta As Sunnah merupakan pedoman bagi kaum muslimin sementara bid’ah dan khurafat merupakan tindakan yang sesat. Dua tahun sebelum wafat pada tahun 1921, KH. Ahmad Dahlan bersama Sarikat Islam menyelenggarakan kongres Islam pertama di Cirebon.
Meskipun semangat dan jiwa KH. Ahmad Dahlan masih menggelora, namun ketika sakit parah, raganya sudah tidak mampu mendukungnya. Akhirnya pada tanggal 23 Februari 1923, beliau wafat. Jenazahnya dimakamkan disebuah pemakaman di Karangkajen. KH. Ahmad Dahlan wafat setelah 20 tahun berjuang bersama para sahabatnya dan selama 11 tahun memimpin secara langsung gerakan Muhammadiyah. Meskipun beliau telah tiada, warisan beliau yang berupa sebuah gerakan, Muhammadiyah, tetap berjalan. Organisasi ini dengan segala aktivitasnya tetap berupaya untuk meneruskan apa yang menjadi cita-cita KH. Ahmad Dahlan serta membantu perjuangan Indonesia untuk mencapai kemerdekaan.[13]

Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang berakidah Islam dan bersumber pada al-Quran dan Sunnah. Sifat gerakannya adalah non-politik, tapi tidak melarang anggotanya memasuki partai politik. Hal ini dicontohkan oleh pendirinya sendiri, KH Ahmad Dahlan, dimana beliau juga adalah termasuk anggota Sarekat Islam.
Sebagai reaksi, sebuah Organisasi sosial keagamaan yang dipelopori oleh para ulama atau kiyai didirikan. Mereka itu ialah K.H.Hasyim Asy’ari, K.H.Wahab Hasbullah, K.H.Bisri Syamsuri, K.H.Mas Alwi, dan K.H.Ridwan. Kedua organisasi ini mempunyai organisasi pendamping untuk wanita maupun pemuda, serta pendidikan.
Ketiga tokoh tersebut belajar di Mekkah di saat ide Muhammad Abduh dan paham Wahabi banyak diperbincangkan. K.H. Hasyim Asy’ari menyetujui ide Muhammad Abduh agar umat Islam segera bangkit dari dunia yang beku. Sekembalinya dari Mekkah, ia bermukim di Tebuireng, Jombang mengasuh pesantren yang dibangung oleh ayahnya sendiri.[14]
In the eyes of the Dutch government, however, the activities of the Nahdhatul Ulama was regarded as a threat to its hegemony, since the NU showed an attitude of limited cooperation towards the Dutch government. In adopting this attitude, the NU did not physically oppose the Dutch, but rather concentrated on instilling in youth an aversion towards the Dutch.[15]

Sebagai sebuah organisasi, kemodernan Muhammadiyah tampak paling tidak dalam tiga hal pokok yaitu bentuk gerakannya yang terorganisasi, aktivitas pendidikan yang mengacu pada model sekolah modern untuk zamannya serta pendekatan teknologis yang digunakan untuk mengembangkan aktivitas organisasi. Cirri yang ketiga ini sebenarnya telah memberi warna tersendiri dalam berbagai aktivitas yang dilakukan. Pendekatan teknologis yang bertumpu pada kecermatan membaca realitas sosial serta ketepatan memperhitungkan tantangan yang sedang dihadapi maupun tantangan masa depan yang sedang menanti.[16]
…I see Muhammadijah having a threefold role: as a religious reform movement , as an agent of social change, and as a political force. As such, its particular characteristic were distinctively different from the other Muslim modernist movements. The significant success of Muhammadijah in achieving a place of respectability within the Indonesian Muslim community, and within the Indonesian society as a whole, was largely due to its behavior in carrying out such a threefold role…[17]

Muhammadiyah pada Masa Penjajahan Belanda
Dalam perjuangan membela bangsa, Negara dan menegakkan Islam di Indonesia, Umat Islam mendirikan berbagai organisasi dan partai politik dengan corak dan warna yang berbeda-beda. Ada yang bergerak dalam bidang politik, sosial budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya. Namun semuanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu memajukan bangsa Indonesia khususnya umat Islam dan melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Tercatat dalam sejarah, bahwa dari lembaga-lembaga tersebut telah lahir para tokoh dan pejuang yang sangat berperan baik di masa perjuangan mengusir penjajah, maupun pada masa pembangunan.
Kekuasaan Politik Islam Indonesia, sampai dengan puluhan kedua abad ke-17 M tidak menyiapkan diri menciptakan sistem pertahanan dengan organisasi kebaharian dan organisasi persenjataan modern. Belum memiliki armada perang yang mampu melindungi armada niaga. Hal ini terjadi sebagai akibat Islam di Indonesia dikembangkan secara damai dan tidak mengalami Revolusi Industri seperti di Eropa.[18]

Muhammadiyah mendapatkan pengakuan dari pemerintah Belanda dengan Surat Keputusan (Governementsbesluit) No. 18 tertanggal 22 Agustus 1914. Akan tetapi dengan adanya surat tersebut, Muhammadiyah hanya dapat bergerak terbatas pada kawasan kota Yogyakarta saja. Surat Keputusan tersebut untuk selanjutnya diperbaharui kembali sebanyak dua kali yaitu Surat Keputusan No. 40 tertanggal 16 Agustus 1920, yang mengijinkan Muhammadiyah untuk memperluas ruang geraknya tidak lagi terbatas pada kawasan kota Yogyakarta saja akan tetapi se- Karesidenan Yogyakarta. Sementara Surat Keputusan No. 36 tertanggal 2 September 1921, mengijinkan Muhammadiyah bergerak di luar Yogyakarta.
Dalam SK yang terakhir memuat ketentuan sebagai berikut:
1.      Mensahkan berdirinya Persarikatan Muhammadiyah di Hindia Belanda untuk jangka waktu 29 tahun sejak tanggal berdirinya. Persarikatan ini diberi hak menjalankan misinya dengan mengadakan berbagai kegiatan dan menyelenggarakan amal usaha yang sesuai dengan misinya tersebut.
2.      Oleh karena Persarikatan Muhammadiyah ber-Badan Hukum Barat (Europeesche rechtspersoon), maka dipersamakan kedudukannya dengan bangsa/ orang Belanda di dalam dan di luar Pengadilan.
3.      Setiap kali izin berdirinya habis masa berlakunya, persarikatan dapat meminta perpanjangan.[19]

The formative years of Muhamadijah could best be described by its slow, but sure, way in spreading its ideas, in achieving some of its goals, and in establishing the foundation for its future progress. This was not only due to the novelty of its ideas and goals, but also because the society, the Javanese society of Jogja, in which it was first born and within which it was allowed to operate by the Dutch colonial government for the large part of this formative period, was culturally, socially and politically and old- and well- established one.[20]


Muhammadiyah pada masa pendudukan Jepang
Pada masa penjajahan Jepang, kedudukan kaum santri relatif terangkat. Ini disebabkan Jepang melihat potensi kaum santri yang dapat digunakan untuk mobilisasi pengusiran Belanda dari Indonesia. MIAI, embrio Masyumi, merupakan pusat mobilisasi kaum santri yang disokong oleh Jepang. Namun, setelah Jepang hengkang, kaum santri kembali terpinggirkan. Kedudukan puncak dalam stratifikasi politik kembali diambil alih oleh kaum priyayi dan abangan.
Pada masa pendudukan Jepang, kaum santri lebih diberikan kelonggaran oleh pemerintah Jepang daripada para nasionalis. Tuntutan-tuntutan dari kaum Muslimin lebih didengarkan oleh pemerintah Jepang daripada kaum nasionalis. Kekuasaan Jepang berusaha menggunakan agama untuk tujuan perangnya sendiri. Sebab pihak Jepang menganggap Islam merupakan sarana yang efektif untuk dapat diterima dengan baik oleh rakyat Indonesia yang merupakan Negara dengan mayoritas berpenduduk Muslim.
Jepang juga membantu perkembangan kehidupan agama. Kantor urusan agama yang pada masa Belanda diketuai oleh seorang orientalis Belanda, diubah oleh Jepang menjadi Shumubu (Kantor Urusan Agama) yang dipimpin oleh orang Indonesia, yaitu K.H. Hasyim Asy’ari. Umat Islam pada saat itu juga diizinkan membentuk Hizbullah yang memberikan pelatihan kemiliteran bagi para pemuda Islam, yang dipimpin oleh K.H.Zaenal Arifin. Demikian pula diizinkan mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakir dan Moh. Hatta. MIAI berkembang menjadi organisasi yang cukup penting pada masa pendudukan Jepang. Para tokoh Islam dan para Ulama memanfaatkannya sebagai tempat bermusyawarah membahas masalah-masalah yang penting yang dihadapi umat Islam.[21]
Pada masa pendudukan Jepang, bekas pemerintahan Jepang dibagi menjadi empat daerah militer. Akibatnya, Muhammadiyah pun ikut terpecah menjadi empat pula. Masing-masing bergerak sendiri-sendiri sesuai dengan daerah militernya. Meskipun demikian, masing-masing wilayah tetap melaksanakan apa yang menjadi cita-cita mereka. Mereka masih tetap utuh dan terus bergerak serta beramal.
Memasuki masa kependudukan Jepang berarti memasuki suatu masa yang baru pula untuk Muhammadiyah. Meskipun pihak Jepang mengakui Muhammadiyah, akan tetapi ada beberapa hal yang harus diubah dalam perkembangannya. Hal ini didasarkan atas kebijaksanaan yang dikehendaki oleh pihak Jepang. Untuk itu, Aisyah ditiadakan. Anggota serta amal usahanya disatukan dengan Muhammadiyah. Hisbul Wathan dan bagian pemuda ditiadakan. Namun sebagai gantinya dibentuk badan baru yang dinamakan Bagian Pelatih yang bertugas untuk melatih anak-anak dan pemuda dalam kehidupan beragama, kehidupan bermasyarakat serta mengikutkan mereka sesuai dengan bakat dan kemampuan dalam kegiatan Muhammadiyah.
Berdasar Surat Keputusan Pemerintah Militer Jepang di Jawa-Madura tanggal 10 bulan IX tahun Jepang 2603 (10 September 1943), Persarikatan Muahammadiyah diberi izin tetap berdiri meneruskan misinya sebagai “Perkumpulan Agama Islam” dengan syarat:
a.       Tidak boleh mengorganisir kaum wanita sendiri seperti Fujinkai, dan tidak boleh mengorganisir Pemuda dan Anak-anak seperti Seinendan dan Syenendan.
b.      Menyatakan dan harus ditulis dalam Anggaran Dasar, bahwa Kemakmuran Bersama di Asia Timur Raya di bawah pimpinan Dai Nippon, dan hal itu harus diyakini sebagaimana diperintahkan oleh Tuhan Allah.[22]

Meskipun ada hal yang harus diubah, hal itu tidak mematahkan semangat dari para kader Muhammadiyah. Keberadaan Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan dakwah adalah prinsip yang senantiasa dimiliki dalam keadaan seperti apapun. Oleh karena itu, dengan sikap yang mudah beradaptasi dengan situasi yang terjadi, Muhammadiyah sanggup bertahan tanpa kehilangan arah perjuangannya.

DAFTAR PUSTAKA
Zaini Muchtarom. 1988.  Santri dan Abangan di Jawa. Jakarta: INIS
Ahmad Mansur Suryanegara. 2009. Api Sejarah. Bandung: Salamandani
Alfian. 1969. Islamic Modernism in Indonesian Politics The Muhammadijah Movement During the Dutch Colonial Period (1912-1842). Tanpa kota penerbit: tanpa penerbit
Syafrudin Darwis. “Muhammadiyah dan Gerakan Reformis Islam Indonesia”. Driyarkara edisi Tahun XXIII No. 2
Abdul Munir Mulkan. “Islamic Education and Da’wah Liberalization: Investigating Kiai Achmad Dahlan’s Ideas”. Al- Jami’ah, Vol 46, No. 2, 2008 M/ 1429 M
M. Yusron Asrofie. Tanpa tahun. Kyai Haji Ahmad Dahlan Pemikiran dan Kepemimpinannya. Yogyakarta: Yogyakarta Offset
Abdul Munir Mulkhan. Tanpa tahun. Warisan Intelektual KH. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah. Yogyakarta: PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta
Yusuf dkk (ed). 1986.  Dinamika kaum santri. Jakarta: Rajawali
Federspiel dkk (ed). 1997. Islam and development: A politico-religious response. Permika Montreal & LPMI.
Alfian. 1989. Muhammadiyah the Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Yusuf Abdullah Puar. 1989. Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Antara PT



[1] Zaini Muchtarom,  Santri dan Abangan di Jawa, (Jakarta: INIS, 1988), hal. 37
[2] Ahmad Mansur Suryanegara, 2009, Api Sejarah, (Bandung: Salamandani), hal. 276-279
[3] Ahmad Mansur Suryanegara, 2009, Api Sejarah, (Bandung: Salamandani), hal. 362
[4] Ibid, hal. 307-308
[5] Alfian, 1969, Islamic Modernism in Indonesian Politics The Muhammadijah Movement During the Dutch Colonial Period (1912-1842),….
[6] Ahmad Mansur Suryanegara,  Api Sejarah, (Bandung: Salamandani, 2009), hal. 429
[7] Ibid, hal. 431
[8] Syafrudin Darwis, “Muhammadiyah dan Gerakan Reformis Islam Indonesia”, Driyarkara edisi Tahun XXIII No. 2 hal. 68
[9] Abdul Munir Mulkan, “Islamic Education and Da’wah Liberalization: Investigating Kiai Achmad Dahlan’s Ideas”, Al- Jami’ah, Vol 46, No. 2, 2008 M/ 1429 M, hal. 412
[10] Ahmad Mansur Suryanegara,  Api Sejarah, (Bandung: Salamandani, 2009), hal. 419-421
[11] M. Yusron Asrofie,…, Kyai Haji Ahmad Dahlan Pemikiran dan Kepemimpinannya, Yogyakarta: Yogyakarta Offset, hal. 57
[12] Ahmad Mansur Suryanegara,  Api Sejarah, (Bandung: Salamandani, 2009), hal. 247
[13] Abdul Munir Mulkhan,…, Warisan Intelektual KH. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah, Yogyakarta: PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta, hal. 75-77
[14] Yusuf dkk (ed),  Dinamika kaum santri, (Jakarta: Rajawali, 1986), hal.5-6
[15] Federspiel dkk (ed), Islam and development: A politico-religious response, (Permika Montreal & LPMI, 1997) hal. 264
[16] Syafrudin Darwis, “Muhammadiyah dan Gerakan Reformis Islam Indonesia”, Driyarkara edisi Tahun XXIII No. 2 hal. 69
[17] Alfian, 1989, Muhammadiyah the Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal 134
[18] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamandani, 2009), hal. 163
[19] Yusuf  Abdullah Puar, 1989, Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah, Jakarta; Pustaka Antara PT, hal 62-63
[20] Alfian, 1989, Muhammadiyah the Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal. 135
[21] Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa,  (Jakarta: INIS, 1988), hal. 42-44
[22] Yusuf  Abdullah Puar, 1989, Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah, Jakarta; Pustaka Antara PT, hal. 64-65

3 comments:

  1. bgs bgt, thanks .. historia nya ..

    ReplyDelete
  2. good job.. saya lagi butuh nih.. salam kenal :D

    ReplyDelete
  3. The 12 Best Casinos in Las Vegas in 2021 - Mapyro
    The best casino in Las Vegas · 군산 출장마사지 1. Encore 경상북도 출장샵 at Wynn Las Vegas · 2. Bacchanal Buffet at Wynn Las Vegas · 3. Wicked 계룡 출장샵 Spoon at Wynn Las Vegas 구미 출장샵 · 4. Encore 진주 출장샵

    ReplyDelete