Saturday, July 16, 2011

KH. AGUS SALIM, PERJUANGANNYA UNTUK INDONESIA

Indonesia adalah sebuah negara yang lahir setelah sekian lama terjajah. Belanda sebagai sebuah negara telah menanamkan kekuasaannya di Indonesia cukup lama. Cukup lama hingga membuat Belanda menjadi negara yang makmur dan rakyat Indonesia menderita. Belanda melakukan penindasan dan penjajahan terhadap bangsa Indonesia yang makin lama makin kuat kekuasaannya. Perbuatan Belanda sangat bertentangan dengan nilai agama Islam dan nilai Prikemanusiaan serta keadilan. Setelah sekian lama menghadapi situasi yang merugikan masyarakat Indonesia, rakyat pun bangkit. Perlawanan-perlawanan terhadap kekuasaan Belanda dilancarkan, baik melalui jalur perlawanan bersenjata maupun tidak.
Zaman terakhir kekuasaan Belanda ditandai dengan pertumbuhan cepat kesadaran diri secara politik yang merupakan hasil dari perubahan sosial dan ekonomi, pendidikan Barat, dan gagasan pembaharuan Islam. Pada masa ini mulai masuk dan diterimanya gagasan-gagasan baru. Zaman ini kemudian disebut sebagai masa kebangkitan nasional.[1]
Upaya penguasaan seluruh wilayah Indonesia yang dilakukan Belanda, oleh ulama dimanfaatkan untuk menumbuhkan kesadaran pada diri tentang adanya musuh bersama. Gerakan ulama membangkitkan kesadaran akan rasa cinta tanah air, bangsa dan agama. Kondisi penjajahan dan penindasan yang dialami oleh rakyat Indonesia telah melahirkan pemahaman pada diri bahwa Islam identik dengan kebangsaan atau nasionalisme.[2]
Realitas sejarah tentang telah adanya eksistensi kekuasaan politik Islam sejak abad ke-9 M hingga abad ke-20 M dan tumbuh meluas di seluruh Nusantara Indonesia dijadikan modal yang sangat berharga oleh Ulama dan Santri, untuk membangkitkan kembali kesadaran politik umat Islam Indonesia. Hal ini dibangkitkan melalui pembentukan organisasi modern sebagai wahana memobilitas dan mendinamikan semangat juang umat Islam Indonesia.[3]
Memasuki masa politik etis, penjajahan ternyata belum selesai. Eksploitasi terhadap segenap potensi sumber daya pribumi dan lingkungan hidupnya tetap dilakukan oleh pemerintah Belanda. Penjajahan dengan model baru pun dimulai. Sebuah senjata utama yang dilakukan oleh pihak pemerintah Belanda untuk melumpuhkan kekuatan ulama dalam hal sumber dana dan logistik. Hal ini dikarenakan sawah ladang maupun irigasi menjadi sangat bergantung pada pemerintah Belanda.
Dibukanya perkebunan dan pertambangan di wilayah baru di luar pulau Jawa, mengakibatkan tenaga kerja perlu didatangkan. Daerah pulau Jawa yang merupakan pulau dengan jumlah penduduk yang cukup padat harus melakukan pemindahan penduduk ke daerah perkebunan dan pertambangan yang belum ada penghuninya. Dengan adanya pemindahan ini, terkait adanya upaya memperlemah kedudukan ulama.[4]

Riwayat Singkat KH Agus Salim
Agus Salim lahir di Kota Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tanggal 8 Oktober 1881. Nama kecilnya adalah Masyudul Haq. Ia merupakan putera Sutan Muhammad Salim. Ayahnya merupakan jaksa tinggi pada Pengadilan Negeri Riau. Nama Agus Salim diperoleh karena panggilan pelayan perempuan asal Jawa di rumah Prof. TH Kock, warga negara Belanda, tempat Agus Salim tinggal ketika menempuh pendidikan di Jakarta.
Sejak kecil, ayahnya telah menanamkan budaya pendidikan. Termasuk dengan menyekolahkan Agus Salim di Hogere Burger School (HBS) di Jakarta. Kesempatan untuk bersekolah di sekolah Belanda disebabkan ia merupakan anak dari salah seorang terpandang dan terpelajar. Jenjang pendidikan pertama yang dilaluinya adalah Europesche Lagere School (ELS) di desanya. Ia lulus tahun 1898. Pada tahun 1903, ia menamatkan pendidikan dari sekolah Belanda, HBS, di Jakarta.
Kecerdasan intelektual Agus Salim terbukti ketika beliau meraih nilai terbaik di HBS. Dalam usia yang sangat muda, Agus Salim sudah berhasil menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing, yaitu bahasa Arab, Belanda, Inggris, Turki, Perancis, Jepang dan Jerman. Setelah lulus HBS, Agus Salim sebenarnya ingin meneruskan studi kedokteran di Belanda, namun ia sadar bahwa biayanya sangat mahal. Atas saran Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda, ayahnya mengajukan permohonan status gilijkgesteld bagi Agus Salim yang bukan keturunan Eropa untuk mendapatkan beasiswa. Permohonan ini dikabulkan namun penyamaan status tersebut tidak lantas membuat Agus Salim mendapat beasiswa. Pada tahun 1905, Agus salim justru mendapat tawaran untuk bekerja di Jeddah dari Kementrian Luar negeri Belanda. Ayahnya sangat mendukung Agus Salim menerima tawaran tersebut apalagi mereka mempunyai saudara yang bermukim di sana.
Karir dipolomatik Agus Salim dimulai saat ia bekerja pada Konsulat Belanda di Jeddah sebagai penerjemah pada tahun 1906-1911. Sekembalinya dari Jeddah pada tahun 1911, ia menikah dengan Zainatun Nahar Almatsier. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai 10 orang anak, namun dua diantaranya meninggal saat masih kecil dan seorang lagi gugur ketika terjadi insiden 25 Januari 1946 saat mengambil alih persenjataan Jepang di Serpong.[5]

Sarekat Islam
Dalam perjuangan membela bangsa, Negara dan menegakkan Islam di Indonesia, Umat Islam mendirikan berbagai organisasi dan partai politik dengan corak dan warna yang berbeda-beda. Ada yang bergerak dalam bidang politik, sosial budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya. Namun semuanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu memajukan bangsa Indonesia khususnya umat Islam dan melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Tercatat dalam sejarah, bahwa dari lembaga-lembaga tersebut telah lahir para tokoh dan pejuang yang sangat berperan baik di masa perjuangan mengusir penjajah, maupun pada masa pembangunan.
Kekuasaan Politik Islam Indonesia, sampai dengan puluhan kedua abad ke-17 M tidak menyiapkan diri menciptakan sistem pertahanan dengan organisasi kebaharian dan organisasi persenjataan modern. Belum memiliki armada perang yang mampu melindungi armada niaga. Hal ini terjadi sebagai akibat Islam di Indonesia dikembangkan secara damai dan tidak mengalami Revolusi Industri seperti di Eropa.[6]

Pendidikan Barat yang diselenggarakan Pemerintah Hindia Belanda tumbuh bersama munculnya elite Hindia Belanda seperti tersebut di atas tidak banyak memberi arti langsung bagi kemajuan rakyat jajahan di daerah ini. Adanya ketentuan-ketentuan mengenai seleksi yang ketat bagi anak-anak orang Indonesia yang dapat memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah pemerintah Belanda tersebut serta munculnya elite Hindia Belanda yang tidak dapat diterima oleh masyarakat sehingga menimbulkan kebencian kepada Belanda merupakan hal-hal yang menyebabkan pendidikan Barat yang diselenggarakan oleh Belanda tersebut sekedar untuk memenuhi keperluan mendesak untuk kepentingan Hindia Belanda di Indonesia. Timbulnya pendidikan Hindia Belanda ini menggugah bangkitnya golongan ulama yang merupakan kelompok elite religius untuk bergerak menandingi kegiatan Belanda. Gerakan pembaharuan pada dasarnya Islam dari Mesir  juga turut mempengaruhi situasi pada saat itu.
Agus Salim masuk dalam kancah pergerakan politik saat ia bergabung menjadi anggota Centraal Sarikat Islam (Sjarikat Islam).[7] Pada tahun 1919, Agus Salim pindah ke Surabaya. Disinilah Agus Salim berkenaln dengan HOS Tjokroaminoto.[8] Dari Bandung HOS Tjokroamonoto, Agus Salim dan kawan-kawan dalam National Congress Centraal Sarikat Islam (Natico CSI), 17 Juni 1916, memberanikan menuntut pemerintahan sendiri.[9] Memelopori sosialisasi istilah nasional, menanamkan kesadaran cinta tanah air bangsa dan agama.
Para santri membanggakan diri bahwa Sarekat Islam (SI) merupakan gerakan nasional modern pertama yang diorganisasi di Indonesia. SI telah memelopori dalam gerakan melawan penjajahan Belanda dan dalam kurun waktu yang cukup singkat dapat mencapai hasil yang sangat baik dalam menghimpun rakyat. Sebab bagi rakyat Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam, Islam bukan hanya menjadi sebuah keyakinan saja akan tetapi juga merupakan faktor nasionalisme, sebuah unsur yang menyatukan rakyat Indonesia, sehingga mereka kemudian bersatu untuk melawan penjajahan Belanda.
Perjalanan politik Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto di SI telah memberi warna tersendiri pagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka berdua dikenal sebagai dwitunggal pemimpin dari SI yang setia memperjuangkan persatuan unat Islam serta kemerdekaan Indonesia.  Pada tahun 1924, setelah Agus Salim memutuskan untuk leluar dari Volksraad, SI menyatakan diri tidak lagi duduk dalam Volksraad.

KH. Agus Salim Menjelang Kemerdekaan
Sejak zaman pendudukan Jepang, Agus Salim mengurangi aktivitas politiknya. Sejak memisahkan diri dari PSII,[10] ia banyak menyalurkan kegiatannya melalui saluran lain, seperti mengarang risalah agama, kebudayaan, politik serta mengisi ceramah. Beberapa buku yang pernah dikarangnya antara lain, Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia, Dari Hal Ilmu Quran, Muhammad voor en na de Hijrah, dan Gods Laatste Boodschap. Sedangkan hasil terjemahannya, antara lain The Taming of the Shrew (Menjinakkan Perempuan Garang) karya Shakespeare, Mowgli Anak Didikan Rimba karya Rudyard Kipling dan Sejarah Dunia karangan E .Molt.
Pada tahun 1943-1945 Agus Salim diminta bekerja di instansi militer Jepang. Kantornya terletak di kompleks Oka Dai 1602 Butai, Bogor. Saat itulah ia menyusun istilah militer bahasa Indonesia untuk tentara Peta (Pembela Tanah Air). Pada tahun 1942-19445, Agus Salim bersama Bung Karno dan Hatta terlibat aktif dalam organisasi Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dan diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Putera.
Menjelang kemerdekaan Indonesia, Agus Salim banyak terlibat dalam kegiatan guna mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. KH Agus Salim terpilih menjadi salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) serta Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Masa Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, Agus Salim tercatat menduduki beberapa jabatan penting di pemerintahan. Diantaranya adalah Menteri Muda Luar Negeri pada Kabinet Syahrir,[11] Menteri Muda Luar Negeri pada Kabinet Amir Sjarufuddin dan Kabinet Hatta I dan II ( Juli 1947- Februari 1950), Penasihat pada Kementrian Luar Negeri RIS (Februari 1950-April 1950), dan penasihat pada Kementrian Luar Negeri dengan gelar pribadi duta besar pada bulan April 1950.
Kiprahnya untuk tampil di forum internasional terjadi tanggal 23 Maret 1947 saat Agus Salim ditunjuk menjadi wakil ketua Delegasi Republik Indonesia di Inter-Asian Relations Conforence di India. Konferensi tersebut di selenggarakan atas prakarsa Perdana Menteri India, Pandit Jawaharlal Nehru. Kemudian, 3 Oktober 1950, Agus Salim ditunjuk sebagai utusan Pemerintah Indonesia untuk menghadiri IITH Conforence Institute of Pasific Relations di Lucknow, India, serta Colloquium on Islamic Culture di Princeton, Amerika Serikat, pada Agustus 1953.[12]
Agus Salim ditunjuk untuk memimpin misi diplomatik Republik Indonesia untuk mengunjungi negara-negara Islam di Timur Tengah pada 4 April 1947. Tugasnya adalah membawa misi diplomatik perjuangan Indonesia, terutama membawa misi pengakuan kemerdekaan Indonesia. Berkat usaha dan kepiawaian penguasaan bahasa Arab yang dimilikinya, Indonesia mendapat pengakuan de jure dan de facto berturut-turut dari Mesir pada 10 Juni 1947, Suriah 2 Juli 1947, Irak 16 Juli 1947 Afganistan 23 September 1947, dan Arab Saudi 21 November 1947. Meskipun demikian terdapat negara yang yang hanya mengakui Indonesia de facto ataupun hanya mengakui de jure saja.[13]

Masa Agresi Militer Belanda
Sejak Belanda mulai dengan Agresi Militer I, Sutan Syahrir telah meninggalkan Indonesia. Perjuangan diplomasi Agus Salim menentang kembalinya Belanda teruji saat menyertai Sutan Syahrir dalam Sidang Dewan Keamanan PBB pada Agustus 1947. Dewan Keamanan sedang memperdebatkan Agresi Militer Belanda I atas wilayah Indonesia. [14] Sewaktu Belanda melancarkan Agresi Militer II, Agus Salim bersama sejumlah tokoh Republik di tawan Belanda di Prapat dan kemudian dipindahkan ke Bangka. Agus Salim di bebaskan dari pengasingan pada tahun 1949.
Pada Agresi Militer Belanda II, Agus Salim turut serta dalam delegasi Indonesia yang diketuai oleh Moh. Hatta di Konferensi Meja Bundar. Dalam periode KMB ini Agus Salim tetap menunjukkan sikapnya sebagai putra bangsa untuk selalu berjuang demi membela nusa bangsa. Meskipun fisiknya yang sudah lemah membuatnya tidak lagi menjadi Menteri Luar Negeri namun jasa-jasa baiknya tetap dibutuhkan.

KH Agus Salim Wafat
Haji Agus Salim wafat di usia 70 tahun pada tanggal 4 November 1954. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Semasa hidupnya, Agus Salim tak pernah di beri tanda jasa. Secara Anumerta kemudian ia menerima  penghargaan dari pemerintah, yaitu Bintang Mahaputera Tingkat I pada tanggal 17 Agustus 1960 dan penghargaan Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan pada 20 Mei 1961. Selanjutnya, 27 Desember 1961, berdasarkan SK Presiden RI Nomor 657 Tahun 1961, Haji Agus Salim ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Agus Salim adalah sosok yang cerdas, lincah, sederhana, dan taat beribadah. Haji Agus Salim dukenal sebagai seorang ulama, diplomat serta penulis hebat Indonesia. Ia mempunyai pengetahuan yang luas tentang agama Islam serta intelektualitas yang tinggi terhadap pengetahuan.[15] Seseorang yang memiliki pribadi yang sederhana namun mempunyai pengetahuan yang luar biasa serta mencintai keluarganya.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mansur Suryanegara, 2009, Api Sejarah,, Bandung: Salamandani
Alfian, 1969, Islamic Modernism in Indonesian Politics The Muhammadijah Movement During the Dutch Colonial Period (1912-1842), tk: tp
St. Sulastro (ed), (2004), Haji Agus Salim (1884-1954) Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, Andreas Yoga Prasetyo, Menelusuri Jejak Nasionalisme Agus Salim, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Kelly, M, 1984, Islam: the religious and political life, of a world community, New York : Praeger
Mukayat, 1985, Haji Agus Salim Karya dan Pengabdiannya, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Panitia Buku Peringatan, tt, Seratus Tahun Haji Agus Salim, tk: Sinar Harapan
Solichin Salam, 1961, Hadji Agus Salim Hidup dan Perdjuangannya, Jakarta : Djajamurni
Zaini Muchtarom, 1988, Santri dan Abangan di Jawa,  Jakarta: INIS



[1] Zaini Muchtarom, 1988,  Santri dan Abangan di Jawa, Jakarta: INIS, hal. 37
[2] Ahmad Mansur Suryanegara, 2009,  Api Sejarah, Bandung: Salamandani, hal. 276-279
[3] Ibid, hal. 362
[4] Ibid., hal. 307-308
[5] Andreas Yoga Prasetyo, 2004, Menelusuri Jejak Nasionalisme Agus Salim, dalam St. Sulastro (ed), 2004, Haji Agus Salim (1884-1954) Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, hal. 145-148
[6] Ahmad Mansur Suryanegara,  2009,  Api Sejarah, Bandung: Salamandani, hal. 162
[7] Andreas Yoga Prasetyo, 2004, Menelusuri Jejak Nasionalisme Agus Salim, dalam St. Sulastro (ed), 2004, Haji Agus Salim (1884-1954) Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, hal. 148
[8] Solichin Salam, 1961, Hadji Agus Salim Hidup dan Perdjuangannya, Jakarta : Djajamurni, hal. 61
[9] Ahmad Mansur Suryanegara, 2009, Api Sejarah, Bandung: Salamandani, hal. 364
[10] Pada tahun 1923 nama SI diganti menjadi PSI. Kemudian pada bulan Januari 1929, PSI diubah menjadi PSII.
[11] Mukayat, 1985, Haji Agus Salim Karya dan Pengabdiannya, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 69
[12] Andreas Yoga Prasetyo, 2004, Menelusuri Jejak Nasionalisme Agus Salim, dalam St. Sulastro (ed), 2004, Haji Agus Salim (1884-1954) Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, hal. 152
[13] Mukayat, (1985), Haji Agus Salim Karya dan Pengabdiannya, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 71
[14] Ibid, hal. 72
[15] Panitia Buku Peringatan,tt, Seratus Tahun Haji Agus Salim, tk: Sinar Harapan, hal. 239

5 comments: