Indonesia adalah sebuah negara yang lahir setelah sekian lama terjajah. Belanda sebagai sebuah negara telah menanamkan kekuasaannya di Indonesia cukup lama. Cukup lama hingga membuat Belanda menjadi negara yang makmur dan rakyat Indonesia menderita. Belanda melakukan penindasan dan penjajahan terhadap bangsa Indonesia yang makin lama makin kuat kekuasaannya. Perbuatan Belanda sangat bertentangan dengan nilai agama Islam dan nilai Prikemanusiaan serta keadilan. Setelah sekian lama menghadapi situasi yang merugikan masyarakat Indonesia, rakyat pun bangkit. Perlawanan-perlawanan terhadap kekuasaan Belanda dilancarkan, baik melalui jalur perlawanan bersenjata maupun tidak.
Zaman terakhir kekuasaan Belanda ditandai dengan pertumbuhan cepat kesadaran diri secara politik yang merupakan hasil dari perubahan sosial dan ekonomi, pendidikan Barat, dan gagasan pembaharuan Islam. Pada masa ini mulai masuk dan diterimanya gagasan-gagasan baru. Zaman ini kemudian disebut sebagai masa kebangkitan nasional.[1]
Upaya penguasaan seluruh wilayah Indonesia yang dilakukan Belanda, oleh ulama dimanfaatkan untuk menumbuhkan kesadaran pada diri tentang adanya musuh bersama. Gerakan ulama membangkitkan kesadaran akan rasa cinta tanah air, bangsa dan agama. Kondisi penjajahan dan penindasan yang dialami oleh rakyat Indonesia telah melahirkan pemahaman pada diri bahwa Islam identik dengan kebangsaan atau nasionalisme.[2]
Realitas sejarah tentang telah adanya eksistensi kekuasaan politik Islam sejak abad ke-9 M hingga abad ke-20 M dan tumbuh meluas di seluruh Nusantara Indonesia dijadikan modal yang sangat berharga oleh Ulama dan Santri, untuk membangkitkan kembali kesadaran politik umat Islam Indonesia. Hal ini dibangkitkan melalui pembentukan organisasi modern sebagai wahana memobilitas dan mendinamikan semangat juang umat Islam Indonesia.[3]
Memasuki masa politik etis, penjajahan ternyata belum selesai. Eksploitasi terhadap segenap potensi sumber daya pribumi dan lingkungan hidupnya tetap dilakukan oleh pemerintah Belanda. Penjajahan dengan model baru pun dimulai. Sebuah senjata utama yang dilakukan oleh pihak pemerintah Belanda untuk melumpuhkan kekuatan ulama dalam hal sumber dana dan logistik. Hal ini dikarenakan sawah ladang maupun irigasi menjadi sangat bergantung pada pemerintah Belanda.
Dibukanya perkebunan dan pertambangan di wilayah baru di luar pulau Jawa, mengakibatkan tenaga kerja perlu didatangkan. Daerah pulau Jawa yang merupakan pulau dengan jumlah penduduk yang cukup padat harus melakukan pemindahan penduduk ke daerah perkebunan dan pertambangan yang belum ada penghuninya. Dengan adanya pemindahan ini, terkait adanya upaya memperlemah kedudukan ulama.[4]
Riwayat Singkat KH Agus Salim
Agus Salim lahir di Kota Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tanggal 8 Oktober 1881. Nama kecilnya adalah Masyudul Haq. Ia merupakan putera Sutan Muhammad Salim. Ayahnya merupakan jaksa tinggi pada Pengadilan Negeri Riau. Nama Agus Salim diperoleh karena panggilan pelayan perempuan asal Jawa di rumah Prof. TH Kock, warga negara Belanda, tempat Agus Salim tinggal ketika menempuh pendidikan di Jakarta.
Sejak kecil, ayahnya telah menanamkan budaya pendidikan. Termasuk dengan menyekolahkan Agus Salim di Hogere Burger School (HBS) di Jakarta. Kesempatan untuk bersekolah di sekolah Belanda disebabkan ia merupakan anak dari salah seorang terpandang dan terpelajar. Jenjang pendidikan pertama yang dilaluinya adalah Europesche Lagere School (ELS) di desanya. Ia lulus tahun 1898. Pada tahun 1903, ia menamatkan pendidikan dari sekolah Belanda, HBS, di Jakarta.
Kecerdasan intelektual Agus Salim terbukti ketika beliau meraih nilai terbaik di HBS. Dalam usia yang sangat muda, Agus Salim sudah berhasil menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing, yaitu bahasa Arab, Belanda, Inggris, Turki, Perancis, Jepang dan Jerman. Setelah lulus HBS, Agus Salim sebenarnya ingin meneruskan studi kedokteran di Belanda, namun ia sadar bahwa biayanya sangat mahal. Atas saran Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda, ayahnya mengajukan permohonan status gilijkgesteld bagi Agus Salim yang bukan keturunan Eropa untuk mendapatkan beasiswa. Permohonan ini dikabulkan namun penyamaan status tersebut tidak lantas membuat Agus Salim mendapat beasiswa. Pada tahun 1905, Agus salim justru mendapat tawaran untuk bekerja di Jeddah dari Kementrian Luar negeri Belanda. Ayahnya sangat mendukung Agus Salim menerima tawaran tersebut apalagi mereka mempunyai saudara yang bermukim di sana.
Karir dipolomatik Agus Salim dimulai saat ia bekerja pada Konsulat Belanda di Jeddah sebagai penerjemah pada tahun 1906-1911. Sekembalinya dari Jeddah pada tahun 1911, ia menikah dengan Zainatun Nahar Almatsier. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai 10 orang anak, namun dua diantaranya meninggal saat masih kecil dan seorang lagi gugur ketika terjadi insiden 25 Januari 1946 saat mengambil alih persenjataan Jepang di Serpong.[5]
Sarekat Islam
Dalam perjuangan membela bangsa, Negara dan menegakkan Islam di Indonesia, Umat Islam mendirikan berbagai organisasi dan partai politik dengan corak dan warna yang berbeda-beda. Ada yang bergerak dalam bidang politik, sosial budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya. Namun semuanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu memajukan bangsa Indonesia khususnya umat Islam dan melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Tercatat dalam sejarah, bahwa dari lembaga-lembaga tersebut telah lahir para tokoh dan pejuang yang sangat berperan baik di masa perjuangan mengusir penjajah, maupun pada masa pembangunan.
Kekuasaan Politik Islam Indonesia, sampai dengan puluhan kedua abad ke-17 M tidak menyiapkan diri menciptakan sistem pertahanan dengan organisasi kebaharian dan organisasi persenjataan modern. Belum memiliki armada perang yang mampu melindungi armada niaga. Hal ini terjadi sebagai akibat Islam di Indonesia dikembangkan secara damai dan tidak mengalami Revolusi Industri seperti di Eropa.[6]
Pendidikan Barat yang diselenggarakan Pemerintah Hindia Belanda tumbuh bersama munculnya elite Hindia Belanda seperti tersebut di atas tidak banyak memberi arti langsung bagi kemajuan rakyat jajahan di daerah ini. Adanya ketentuan-ketentuan mengenai seleksi yang ketat bagi anak-anak orang Indonesia yang dapat memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah pemerintah Belanda tersebut serta munculnya elite Hindia Belanda yang tidak dapat diterima oleh masyarakat sehingga menimbulkan kebencian kepada Belanda merupakan hal-hal yang menyebabkan pendidikan Barat yang diselenggarakan oleh Belanda tersebut sekedar untuk memenuhi keperluan mendesak untuk kepentingan Hindia Belanda di Indonesia. Timbulnya pendidikan Hindia Belanda ini menggugah bangkitnya golongan ulama yang merupakan kelompok elite religius untuk bergerak menandingi kegiatan Belanda. Gerakan pembaharuan pada dasarnya Islam dari Mesir juga turut mempengaruhi situasi pada saat itu.
Agus Salim masuk dalam kancah pergerakan politik saat ia bergabung menjadi anggota Centraal Sarikat Islam (Sjarikat Islam).[7] Pada tahun 1919, Agus Salim pindah ke Surabaya. Disinilah Agus Salim berkenaln dengan HOS Tjokroaminoto.[8] Dari Bandung HOS Tjokroamonoto, Agus Salim dan kawan-kawan dalam National Congress Centraal Sarikat Islam (Natico CSI), 17 Juni 1916, memberanikan menuntut pemerintahan sendiri.[9] Memelopori sosialisasi istilah nasional, menanamkan kesadaran cinta tanah air bangsa dan agama.