Monday, October 3, 2011

Dampak Revolusi Amerika

Dengan berakhirnya politik dan perang terhadap Amerika Utara yang serba gagal itu, ikut tamat pulalah gaya pemerintahan pribadi yang dijalankan George III selama ini. Gejala-gejala ke arah tamatnya gaya pemerintahan ini tampak jelas ketika pada tahun 1780 mayoritas parlemen yang sesungguhnya disuap raja untuk mendukungnya, menerima suatu resolusi yang bertujuan untuk mengurangi kekuasaan raja. Namun George III belum mau mengakui kenyataan in, dan baru pada tahun 1782 tatkala parlemen mengajukan mosi keras dan kabinetnya bubar, raja mau tunduk kepada kenyataan yang pahit baginya.
Adanya Traktat Paris (Traety of Paris) merupakan sebuah penyelesaian damai yang mengakui kemerdekaan, kebebasan dan kedaulatan 13 koloni, sekarang disebut Negara-negara bagian. Ketiga belas koloni ini oleh Britania Raya diberi wilayah dengan batas barat Sungai Mississipi, batas utara sampai Kanada dan batas utara sampai Florida, yang dikembalikan ke Spanyol. Koloni-koloni baru dan belum berpengalaman yang telah diramalkan oleh Richard Henry Lee tujuh tahun sebelumnya akhirnya menjadi “Negara-negara bagian yang bebas dan merdeka”.

Sumber : Samekto, (1982), Ikhtisar Sejarah Bangsa Inggris, Jakarta: PT Sastra Hudaya


Sunday, October 2, 2011

Revolusi Amerika


Perang Revolusi Amerika (17751783) adalah sebuah perang yang terjadi antara Britania Raya dan para pendukung revolusi dari 13 koloni Britania di Amerika Utara. Ke-13 koloni itu adalah koloni New Hampshire, koloni Massachusetts, koloni Rhode Island, koloni Connecticut, koloni New York, koloni New Jersey, koloni Pennsylvania, koloni Delaware, koloni Maryland, koloni Virginia, koloni North Carolina, koloni South Carolina, dan koloni Georgia. Perang yang kemudian meluas ke luar Amerika Utara Britania (British North America) ini berakhir dengan dihapuskannya kekuasaan Britania terhadap ketiga belas koloni tersebut dan dibentuknya negara Amerika Serikat.[1]
Pada mulanya Perang Tujuh Tahun adalah perjuangan antara emigrant Prancis di Amerika. Perantau Inggris meraih kemenangan, sehingga mereka mengharapkan segala keuntungan dan tanah subur yang membentang dari pegunungan Appalachian sampai sungai Mississipi. Tetapi pemerintah Inggris juga menganggap dirinya sebagai pemenang dan mencadangkan daerah-daerah yang ditakhlukan itu bagi rakyat Kanada yang baru dikuasainya atau pun bagi calon emigrant. Maka pada tanggal 7 Oktober 1763, pemerintah Inggris melarang orang lain untuk bermukim di daerah-daerah tersebut. Dilain pihak, Inggris menganggap adil dan wajar apabila para emigrant yang mendapat keuntungan dari perang membayar pula biayanya.
Untuk itu pemerintah memutuskan untuk kembali pada system perniagaan yang pernah berlaku pada zaman dahulu, yaitu system eksklusif dimana adanya pelarangan bagi koloni untuk berdagang dengan Negara lain kecuali Negara induk. Akan tapi koloni-koloni Inggris menarik keuntungan yang besar tetes yang dibeli dari Antilia Prancis, keuntungan ini nantinya harus dikembalikan pada Inggris. Di samping itu berbagai pajak baru dikenakan di koloni-koloni tanpa dirundingkan terlebih dahulu dengan dewan-dewan setempat. Pada tahun 1765, Stamp Act mengenakan bea pada berbagai akta perdagangan dan Koran.
Semua tindakan tersebut menyebabkan ketidakpuasan yang besar dan protes yang menyeluruh. Protes ini terutama berasal dari kaum pedagang di pelabuhan-pelabuhan besar dan para pemilik perkebunan, yakni para bangsawan yang menguasai dewan-dewan koloni. Seperti Corps intermediaire di Eropa, dewan-dewan ini melawan raja. Dinyatakan bahwa berdasarkan tradisi konstitusional Inggris, perpajakan baru tidak dapat dikenakan tanpa persetujuan rakyat yang ditakhlukan atau mereka yang diberi mandate. Parlemen London menegaskan bahwa anggotanya mewakili semua warga kerajaan. Dewan-dewan koloni tidak menyetujui alasan ini dan menuntut bukan hanya penarikan kembali system perpajakan baru, tetapi juga suatu peninjauan kembali status koloni-koloni Inggris.
Untuk pertama kali, utusan dari smbilan koloni berkumpul di New York dalam rangka menyelenggarakan suatu Kongres (1765) yang menyalahkan prinsip penetapan pajak baru tanpa mengikutsertakan perwakilan koloni. Dewan-dewan berusaha bertopang pada rakyat untuk menopang protesnya. Para pedagang bersatu untuk memboikot barang dagangan Inggris dan para buruh kota bersatu dengan mereka dalam mendirikan sejumlah perserikatan “Putra-putra Merdeka” yang melawan kesewenang-wenangan raja Inggris. Pemerintah Inggris menyerah dan menarik Stamp Act pada 1766. Tetapi pada tahun berikutnya didekritkan berbagai pajak baru yang dikenakan pada kertas, kaca, timah hitam dan teh di koloni-koloni. Pemboikotan dan hasutan berkobar lagi. Para pegawai bea cukai dianiaya ketika mereka menarik pabean. Ketegangan antara penduduk Amerika dan tentara Inggris meningkat. Pada tanggal 5 Maret 1770, tembakan pertama perang Inggris-Amerika mulai berdentang, tiga warga Boston tewas. Peristiwa ini dinamakan “pembantaian Boston”.

Thursday, September 22, 2011

Kehidupan rakyat Indonesia pada awal Kedatangan Bangsa Jepang

Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah oleh Jepang. Sumatera ditempatkan di bawah Angkatan Darat ke-25, sedangkan Jawa dan Madura berada di bawah Angkatan Darat ke-16; kedua wilayah ini berada di bawah Angkatan Darat Wilayah ke-7 dengan markas besarnya di Singapura. Kalimantan dan Indonesia Timur dikuasai oleh angkatan laut.[1]
Tujuan utama Jepang di Indonesia adalah menyusun serta mengarahkan kembali perekonomian Indonesia dalam rangka menopang upaya perang Jepang dan rencana-rencananya bagi dominasi ekonomi jangka panjang terhadap Asia Timur dan Tenggara. Kebijakan Jepang terhadap rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas yaitu menghapus pengaruh-pengaruh Barat dikalangan mereka dan memobilisasi rakyat Indonesia demi kemenangan Jepang. Jepang bermaksud menguasai Indonesia untuk kepentingan mereka sendiri.
Untuk memusnahkan pengaruh Barat, Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda serta Bahasa Inggris dan memajukan pemakaian bahasa Jepang. Kalender Jepang diperkenalkan, patung-patung Eropa diruntuhkan, dan jalan-jalan diberi nama baru. Suatu kampanye propaganda yang intensif dimulai untuk meyakinkan masyarakat bahwa rakyat Indonesia dan bangsa Jepang adalah saudara seperjuangan dalam perang yang luhur untuk membentuk suatu tatanan baru di Asia. Sejak awal pendudukannya, Jepang selalu berusaha menarik simpati bangsa Indonesia agar bersedia membantu Jepang dalam usahanya memenagkan perang.[2]Akan tetapi, upaya propaganda ini sering mengalami kegagalan yang disebabkan kenyataan yang ada selama masa pendudukan Jepang yaitu kekacauan ekonomi, teror polisi militer (kenpeitai), kerja paksa, penyerahan wajib beras, kesombongan dan kekejaman orang-orang Jepang pada umumnya, pemukulan, pemerkosaan serta adanya kewajiban memberi hormat kepada setiap orang Jepang.[3] Kondisi rakyat Indonesia yang sedang mengalami penurunan drastis yang disebabkan oleh depresi ekonomi yang terjadi ketika berada di bawah pemerintahan kolonial bertambah buruk setelah masuknya Jepang ke Indonesia.[4]


[1] M.C. Ricklefs, “A History of Modern Indonesia”, a.b. Dharmono Hardjowidjono, (1981), Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal 297
[2] Fujiwara Iwachi, F. Kikan: “Japanese Army Intelligence Operation in Southeast Asia during World War II”, a.b. Gyani Buditjahja, (1988), F. Kikan: Operasi Intelijen Tentara Jepang di Asia Tenggara selama Perang Dunia II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. 68
[3]M.C. Ricklefs, “A History of Modern Indonesia”, a.b. Dharmono Hardjowidjono, (1981), Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal 298-299
[4] Dadang Juliantoro, (1997), Derita Paksa Perempuan, Kisah Jugun Ianfu pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. 49

Tuesday, September 20, 2011

PENDIDIKAN GURU MASA KEMERDEKAAN


Setelah Indonesia mengalami kemerdekaan, mucullah masalah baru yang harus diatasi oleh pemerintah, salah satunya adalah masalah kekurangan tenaga pengajar. Pada tahun 1950, kekurangan itu ada 20.186 orang. Bahkan kalau semua calon murid SR yang ingin masuk sekolah ditampung seluruhnya, maka kekurangan itu meliputi jumlah + 168.000 orang guru.
Maka untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah menempuh dua jalan. Yang pertama adalah memperbanyak jumlah SGB (SG 4 tahun). Yang kedua adalah memperkerjakan tenaga guru yang mempunyai wewenang untuk mengajar (calon guru). Pada umumnya mereka baru lulus SD 6 tahun. Usaha ini bersifat sementara karena pemerintah menghendaki agar pelaksanaan pendidikan pada SR itu diserahkan kepada tenaga pengajar yang berijazah SGA (SG 6 tahun).
A.       Sekolah Guru B (SGB atau SG 4 tahun)
Murid yang diterima masuk kelas I SGB ialah tamatan SR, yang lulus dalam ujian masuk ke SLP. Lama pelajaran 4 tahun. Pada dasarnya pelajaran 4 tahun itu sama dengan 3 tahun pelajaran umum (SMP), ditambah 1 tahun pelajaran kejuruan (guru). Disamping kelas-kelas biasa, diadakan juga kelas IV SGB istimewa atau Kursus Guru B (KGB). Yang dapat diterima ialah mereka yang berijazah SMP. Sesudah dididik 1 tahun mereka diberi ijazah SGB dan dipekerjakan sebagai guru SR. Dari kelas III SGB (dengan seleksi), murid-murid dapat melanjutkan pelajaran ke SGA.[1]
B.        Sekolah Guru A (SGB atau SG 6 tahun)
Syarat masuk SGA adalah pemegang ijazah SMP Negeri, tamatan SGB Negeri dan SGB kelas III yang naik ke kelas IV melalui proses seleksi. Lama pelajaran 3 tahun. Karena permintaan untuk masuk SR bertambah banyak, pemerintah menganggap perlu mengadakan pendidikan guru yang lebih singkat lagi.
C.        Sekolah Guru C (SGB atau SG 2 tahun)
Sekolah ini memberikan pendidikan selama 2 tahun pada anak-anak tamatan SR dan dapat disamakan dengan CVO atau OVVO pada zaman Belanda. Usaha ini hanya berjalan + 1,5 tahun karena tidak mendapat dukungan dari masyarakat. Beberapa dari sekolah tersebut diubah menjadi SGB.
Selain mendirikan sekolah guru, pemerintah juga membuka kursus-kursus guru. Ada dua tujuan yang hendak dicapai. Yang pertama adalah untuk memperbaiki mutu guru-guru SD yang belum memiliki ijazah SGB. Yang kedua adalah untuk memperluas pengetahuan guru-guru SR yang telah memiliki ijazah SGB dan yang sederajat, sehingga mereka dapat mencapai ijazah SGA.[2]


[1] I. Djumhur,1976, Sejarah Pendidikan, Jakarta : CV. ILMU, hal. 121
[2] Ibid, hal. 212